Politik Uswah Politik Dalam Revolusi Mental Pancasila Kita (1)

Uswah Politik Dalam Revolusi Mental Pancasila Kita (1)

-

Moralitas kehidupan politik kita, orang Indonesia, menghadapi persoalan serius. Bobrok, korup dan ambigu. Realitas politik menjadi pragmatis. Elit yang berteriak soal moralitas, justru terjerumus di kubangannya. Masyarakat, malah ikut menikmati.

Ian Zulfikar

Dua peneliti, Ian Zulfikar yang juga dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAS dan Ma’mun Murod Al-Barbasy’, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FJSIP UMJ melakukan kajian tentang ambiguitas politik kita, dan bagaimana penerapan Pancasila diterapkan dalam kehidupan politik itu sendiri.

Hasil kajian kedua peneliti ini, telah diterbitkan di dalam Jurnal Populis Vol. 4, No 8, Desember 2019 oleh Lembaga Penerbitan Unas. Kajian itu diberi judul: “Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah Dalam Himpitan Ambiguitas Politik dan Urgensi Uswah Politik”.

Dalam penekanan pemikirannya, kedua peneliti tersebut menegaskan bahwa dalam perspektif klasik, politik dimengerti sebagai perangkat yang begitu luhur. Politik menjadi values, menjadi “apa yang seharusnya” (das sollen), yang bertujuan mewujudkan kebaikan bersama (public good, maslahat-i al-ammah).

Namun, dalam praksisnya (das sein) yang justru sering muncul dan menjadi mainstream adalah politik “tanpa nilai” (unvalued). Politik jadi berbicara soal “apa yang senyatanya”.

Politik jadi dimaknai pragmatis, yaitu politik yang ansich berorientasi kekuasaan. Politik yang hanya dipahami sebagai “deal siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana”.

Mainstream politik unvalued inilah yang kemudian tumbuh subur. Tidak saja di lingkup elit politik, tapi juga di masyarakat. Tidak saja menjelang perhelatan politik pemilu atau pilkada. Dalam keseharian, begitu mudah mendapati praktek politik unvalued.

Dominasi politik unvalued ini membawa dampak ikutan yang begitu buruk. Realitas politik menjadi begitu pragmatis karena moralitas politik yang “mendua” (ambigu).

Di satu sisi elit berteriak soal moralitas –katakanlah dalam  hal pemberantasan korupsi– di sisi lain, elit juga masuk dalam kubangan praktek korupsi tersebut.

Sistem politik yang bobrok dan korup ini dibiarkan -untuk tidak mengatakan sengaja diciptakan. Tidak ada niatan serius untuk memperbaiki sistem politik tersebut.

Begitu juga masyarakat. Di satu sisi begitu kencang berteriak soal
pemberantasan korupsi, mengkritisi pejabat yang korup –baik di lingkup eksekutif, legislatif, yudikatif maupun birokrasi– namun di saat bersamaan begitu menikmati perilaku korup para pejabat.

Modusnya bisa melalui proposal yang diajukan, permohonan bantuan, menerima money politics dari kandidat atau kontestan pemilu.

Praktek ini begitu memprihatinkan. Berpotensi menyuburkan perilaku korup para pejabat. Perilaku atau moralitas politik yang ambigu ini semakin terasa menjelang berlangsungnya perhelatan politik seperti pemilu, pilkada, pilgub maupun pilpres.

Moralitas politik yang ambigu ini menjamur dan merambah semua sendi kehidupan. Di lingkup elit, pelakunya bukan saja mereka yang memang mempunyai karakter moral politik yang buruk, tapi juga yang dikategorikan sebagai “orang  baik” yang mencoba melakukan perbaikan atas bangsa ini.

Di masyarakat, bukan hanya mereka yang memang bermental korup, tapi juga yang selama ini di-labelkan sebagai “orang baik”.

Saat ini, elit yang secara moral politik buruk dan keterlibatannya dalam
dunia politik diyakini hanya akan membawa kerusakan (mafsadat), cenderung mengambil jalan pintas dan instan. Dalam kapasitas sebagai calon legislatif atau kandidat di jabatan eksekutif, misalnya, mereka tidak mau menyambangi konstituennya.

Mereka lebih memilih jalan pintas untuk menggapai kekuasaan lewat relasi kuasa dengan misalnya KPU, PPK, atau siapapun yang dinilai bisa  “menggelembungkan” atau “mengamankan” suara.

Tentu politik jalan pintas ini tidak murah. Pasti membutuhkan biaya politik yang cukup mahal. Lalu apa yang bisa diharapkan dari politisi yang seperti ini?

Sementara elit yang dikategorikan “baik”, yang selama ini telah mencoba menjalankan politik secara santun pun, pada akhirnya tergoda untuk berbuat politik yang amoral.

Di masyarakat, moral politik yang ambigu menjadi kelaziman. Di satu sisi masyarakat lantang mengkritisi perilaku korup pejabat, di sisi lain juga menikmati hasil korupsi pejabat, yang telah mengakibatkan atau mengharuskan elit berbuat korup.

Masyarakat seperti tidak merasa bersalah (berdosa) lagi, untuk misalnya menerima atau meminta politik uang kepada kandidat atau kontestan politik yang akan dipilihnya. Pada beberapa hal, mungkin masih bisa dipahami, karena mereka meminta imbalan atas suara yang diberikannya. Di sini, ada semacam  simbiosis mutualisme.

Tapi saat ini, berkembang juga bentuk moralitas politik ambigu lainnya, yaitu “ambil uangnya jangan pilih orangnya.”

Sepintas sikap ini baik karena bermaksud memberikan hukuman kepada elit politik pelaku money politics. Namun dalam praktiknya, di saat yang bersamaan, masyarakat juga  menerima pemberian money politics dari kandidat lain. Sikap politik seperti ini justru akan semakin melanggengkan politik yang amoral dan ambigu.

Lebih menyedihkan lagi, perilaku politik amoral dan lekat dengan abuse of
power
justru dilakukan dengan menjadikan Pancasila sebagai kedok atau tameng
berlindung.

Jika diperbandingkan, perilaku ini memiliki kemiripan dengan perilaku politik di masa Orde Baru. Dulu, banyak pejabat Orde Baru yang begitu fasih bicara dan merasa diri paling Pancasila, namun di saat yang bersamaan mereka melakukan abuse of power yang tentu bertentangan dengan Pancasila.

Saat ini, abuse of power menjadi fenomena yang dapat ditemui di semua ranah publik. Ada orang yang dipercaya memimpin partai politik, tapi dianggap “berhasil” karena telah menjadikan partai politiknya sebagai ajang untuk mengumbar ambisi politik dan meneguhkan kepentingan yang bcrsifat sesaat.

Ada juga ketua umum partai politik dan elit partai lainnya yang sudah diposisikan sepert tuhan (sengaja huruf “t” kecil). Sejumlah figur yang berhasil terpilih untuk memimpin daerah memposisikan kekuasaan sebagai miliknya, yang lalu dipergunakan untuk memenuhi ambisi dan nafsu kuasa diri dan kelompoknya yang sangat sempit, yang jauh dari kepentingan untuk terwujudnya kemaslahatan umum (maslahati al-ammah).

Demikian pula, mereka yang memiliki jabatan di berbagai institusi publik, ada yang terjebak ke dalam perilaku-perilaku busuk dengan mernanfaatkan jabatan yang diembannya.

Ujung-ujungnya adalah terjadinya korupsi, kolusi, manipulasi, dan praktik­
praktik kotor lainnya. Nyaris tidak ada satu pun lembaga yang bersih dari praktik jahat yang merugikan rakyat dan negara. Bahkan lembaga yang mengurus persoalan yang berkaitan dengan masalah keagamaan pun tak luput dari praktik-praktik yang merugikan masayarakat umum.

Ironisnya, masyarakat terlihat membiarkan. Bahkan ada yang ikut andil memperparah dengan masuk ke dalam pusaran perilaku amoral ini melalui praktik-praktik kotor yang lain.

Sikap permisif yang serba “membolehkan” tumbuh subur di masyarakat. Masyarakat bukan saja melakukan pembiaran, tapi bahkan mengamini perilaku-perilaku amoral yang berwajah abuse of power.(bersambung)

admin
Ideas, stories, thoughts

Komentari

Subscribe to our newsletter

Subscribe info terbaru dari UNAS Press Newsletter langsung ke inbox email

Terkini

HI UNAS dan AIHII Gelar Foreign Policy Outlook 2024

Program Studi Hubungan Internasional Universitas Nasional bekerja sama dengan Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) menggelar “Foreign Policy Outlook...

Orasi Ilmiah Pengukuhan 10 Guru Besar Universitas Nasional: Mulai Dari Soal Perburuhan Hingga Pandanus Tectorius dari Jawa

  Universitas Nasional membuka tahun 2024 dengan mengukuhkan 10 Guru Besar melalui acara pengukuhan yang digelar selama dua hari berturut-turut....

Capaian Awal Tahun 2024: UNAS Raih Predikat Unggul, Kukuhkan 10 Guru Besar

Ada capaian istimewa di awal tahun 2024 yang berhasil diraih Universitas Nasional. Pertama, UNAS berhasil meraik predikat akreditasi institusi...

Featured

You might also likeRELATED
Recommended to you