Ekbis Covid-19, Ketahanan Negara, dan Peta Politik Ekonomi Global

Covid-19, Ketahanan Negara, dan Peta Politik Ekonomi Global

-

La dharara wa la dhirāra atau “tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain”.

Hadits ini kemudian ditarik menjadi kaidah fiqih yang belakangan populer kembali di telinga kita selama pandemi Covid-19. Ini mungkin terjadi karena banyak ulama menyampaikan kaidah tersebut untuk menjelaskan pentingnya menjaga keselamatan diri dan keselamatan orang lain dalam rangka physical distancing.

Lembaga Bahtsul Masail PBNU dalam pandangan keagamaannya tanggal 19 Maret 2020 dan MUI dalam Fatwa No. 14 tahun 2020 juga menggunakan kaidah tersebut.

Dapat dipahami bahwa kaidah ini menempatkan pertimbangan hubungan manusia dalam interaksi sosial (mu‘amalah), untuk urusan ubudiyah, yang bertujuan untuk melindungi jiwa (hifzhun nafs) masing-masing individu dari bahaya Covid-19.

Lantas, setelah Covid-19 semakin nyata dampaknya hingga ke aspek ekonomi, orang-orang mulai membicangkan tujuan lain dari agama, yakni memelihara harta (hifzhul māl) atau berkaitan dengan perekonomian.

Terlebih, setelah Covid-19 dianggap menekan perekonomian global. Sebagai bagian dari mu‘amalah, muamalah māliyah (harta) tentu juga menerapkan kaidah dasar, yakni “pada dasarnya semua praktik muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya” (al-ashlu fil mu‘āmalah al-ibāhah hattā yadullad dalīlu ’alat tahrīm).

Kaidah tersebut dapat dilihat memiliki semangat yang sama dengan asas legalitas hukum, yakni setiap orang hanya dapat dikenakan sanksi jika melanggar hukum yang telah ditetapkan. Yang ini mengisyaratkan bahwa selama belum ada aturan yang melarang maka suatu perbuatan boleh dilakukan.

Lantas mengapa timbul suatu hukum atau larangan pada hal tersebut? Saya kira karena ada bahaya (mudharat) jika hal itu dilakukan sehingga perlu adanya hukum untuk menghormati atau melindungi individu tersebut agar tidak jatuh pada kerugian (mafsadat).

Dengan kata lain, saya kira la dharara wa la dhirāra juga memiliki posisi penting sebagai kaidah untuk aspek ekonomi. Terutama berhubungan dengan ekonomi Indonesia sebagai suatu negara dalam perdagangan internasional di tengah pandemi.

Kajian fiqih mu‘amalah māliyah yang berkaitan dengan hubungan ekonomi antarnegara memang tidak sepopuler pembahasan hubungan antarindividu dalam akad-akad, atau relasi negara dan umat dalam hal zakat, pajak, intervensi harga, dan lain sebagainya. Kita dapat memahami karena secara historis narasi peradaban umat Islam lebih banyak mengedepankan aspek persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah).

Semangat nasionalisme atau kebangsaan umat Islam (ukhuwah wathaniyyah) berdasarkan kedekatan wilayah atau senasib dalam penjajahan mungkin baru terlihat pada awal abad ke-20. Salah satu negara yang berhasil mengawinkan antara Islam dan kebangsaan tentu adalah Indonesia. Indonesia adalah dārul mītsāq (negara kesepakatan), begitu Kiai Ma’ruf Amin mengatakan. Ini beralaskan pada tafsirnya atas Surat Al-Anfal ayat 72 yang menjadi fondasi ukhuwah wathaniyyah.

Pancasila adalah kalimatun sawā (titik temu). Sedangkan UUD 1945 adalah ittifāqan wathaniyyah (kesepakatan nasional). Kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran menjadi tujuan bernegara sebagaimana tertera pada pembukaan UUD 1945.

Tujuan bernegara tersebut tentu menjadi penting diperjuangkan, terutama oleh umat Islam yang wajib hukumnya untuk memenuhi suatu perjanjian. Kesepakatan bangsa. Oleh sebab itu, pada titik inilah kajian ekonomi syariah menjadi penting sebagai positioning dalam perdagangan internasional dan perang dagang global.

Mengkaji peran dan kebijakan negara yang bagaimana yang dapat mendukung warga Indonesia, khususnya umat Islam Indonesia, mencapai bangsa yang makmur. Sebagaimana cita-cita bersama yang disepakati.

Politik Ekonomi Global Sejak pandemi Covid-19 muncul di akhir tahun lalu sebagai isu kesehatan dunia, WHO menjadi aktor global yang mendapat panggung utama pada situasi ini. Perjalanan Covid-19 di Indonesia kerap diriuhkan dengan dialektika antara WHO dan Pemerintah Indonesia.

Mulai dari kecurigaan WHO pada Indonesia yang masih bebas Covid-19 di awal tahun 2020, tekanan WHO untuk Indonesia untuk melakukan lockdown, hingga pada 27 Mei 2020 WHO menekan pemerintah Indonesia untuk menstop penggunaan chloroquine dan hydroxychloroquine sebagai obat corona.

Meskipun saat ini sudah relatif banyak penderita Covid-19 di Indonesia yang mulai sembuh, namun akhirnya Pemerintah RI patuh mengikuti tekanan WHO soal chloroquine. Pada satu sisi pemerintah telah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan tak lama lagi akan memberlakukan Pasca-PSBB, atau yang populer disebut new normal (normal baru).

Normal baru yang tetap menerapkan setiap protokol kesehatan Covid-19, serta begitu banyak menyerap energi dan anggaran. Di sisi lain protokol kesehatan Covid-19 juga terus membatasi kegiatan ekonomi dan menambah beban biaya usaha pada swasta.

Akibat swasta tidak menggeliat saat PSBB, tidak heran pendapatan pajak pemerintah turun. Sebut saja Pemda DKI yang turun dari 50,17 T menjadi 22,5 T sebagaimana yang disampaikan Gubernur DKI pada 29 Mei 2020 kemarin. Pemerintah mengabarkan akan memfokuskan atau relokasi anggaran demi mendukung protokol kesehatan Covid-19.

Sementara tata laksana protokol tersebut mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan tertanggal 20 Mei 2020. Diperkirakan besar serapan anggaran di seluruh Indonesia adalah untuk pembelian bahan habis pakai seperti Alat Pelindung Diri (APD), disinfektan, dan hand sanitizer. Sementara di sisi lain, semakin banyak rakyat yang terjerat ekonomi dan psikisnya akibat pandemi ini.

La dharara wa la dhirāra. Saya kira sejak PP No. 21 tahun 2020 dan Kepres No. 11 tahun 2020 ditandatangani tanggal 31 Maret 2020, Indonesia telah masuk pada “jangkauan WHO”. Delapan hari setelahnya, atau 8 April 2020, Kementerian Kesehatan mengedarkan dokumen resmi setebal 40 halaman yang berisi Petunjuk Teknis APD dalam menghadapi wabah Covid-19, yang berdasarkan tempat layanan kesehatan, profesi, dan aktivitas petugas menurut WHO.

Daftar Pustaka dokumen Kemenkes itu banyak merujuk publikasi dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang merupakan lembaga pemerintah Amerika Serikat untuk mengendalikan dan mencegah penyakit, juga U.S. Food and Drug Administration (FDA) semacam BPPOM Amerika Serikat, dan tentunya dokumen WHO yang berjudul Rational Use of Personal Protective Equipment for Coronavirus Disease 2019.

Kita ambil contoh satu, APD yang mesti digunakan oleh setiap tenaga kesehatan di ruang perawatan pasien, IGD, dan kamar operasi, sesuai dokumen resmi Kemenkes, yaitu masker N95. Meskipun dalam dokumen WHO, untuk area yang sama, selain masker N95 juga bisa menggunakan masker FFP2 atau FFP3.

Lantas apa bedanya ketiga jenis masker yang proseduralnya hanya bisa digunakan untuk sekali pakai itu? Masker N95 adalah masker khusus yang syarat beredarnya di pasaran dunia mesti tersertifikasi oleh National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), ini semacam Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), namun berada di bawah CDC di Amerika Serikat.

Tentu tidak sedikit biaya (ujrah) yang mesti dikeluarkan suatu manufaktur untuk bisa memperoleh sertifikat dari NIOSH. Dan NIOSH tidak mendelegasikan kewenangan untuk pengujian/sertifikasi N95 ke lembaga internasional lain.

CDC dalam lamannya menampilkan daftar ratusan pabrik di seluruh dunia yang tersertifikasi NIOSH. N95 yang kini jadi komoditi unggulan di tengah pandemi diproduksi dari pabrik-pabrik yang berdomisili di Korea, Kolombia, Singapura, Irlandia, Jepang, Inggris, Prancis, Hongkong, dan India. Tercatat Amerika, China, dan Taiwan menjadi tiga besar negara yang paling banyak memiliki pabrik produsen N95. Sayangnya tidak ada satupun pabrik berdomisili di +62 yang terdaftar pada laman CDC.

Penelusuran menunjukkan sebagian di antara pabrik tersebut juga memproduksi masker FFP2, FFP3, atau sejenisnya agar dapat masuk pasar eropa. Dengan alasan, hanya jenis masker tersebut yang boleh beredar di Eropa berdasarkan aturan Masyarakat Ekonomi Uni Eropa yang dikawal oleh European Safety Federation (EUESF).

EUESF juga menerbitkan standar untuk beberapa APD jenis lain. Produk FFP2 harus lulus standar DIN EN 149:2009 dan CE Marking untuk memastikan kesesuaian dengan standar K3 dan lingkungan Uni Eropa. Produk juga mesti diuji di laboratorium yang terakreditasi oleh European Accreditation. Hanya ada 23 laboratorium penguji. Seluruhnya berada di Eropa sana.

Tentu juga tidak gratis untuk mendapat sertifikat itu. Hambatan (barrier) dalam bentuk standarisasi dan besarnya biaya sertifikasi alat kesehatan seperti yang terjadi pada APD masker N95 dan FFP2 dapat diduga menjadi penyebab tingginya biaya kesehatan di Indonesia. Keterbatasan tulisan ini membuat hanya mampu menguraikan satu contoh, yaitu masker yang digunakan tenaga kesehatan dalam penanganan Covid-19. Mungkin di lain waktu kita bisa membahas alat kesehatan lain yang diatur “mekanisme pasar”nya oleh WHO.

Mengapa Eropa dan Amerika, serta belakangan ini China leluasa bermain pada industri kesehatan global. Tidak perlu terburu-buru mencap suatu teori konspirasi. Bagaimanapun adagium “tidak ada makan siang gratis”, sebenarnya selaras dengan konsep will to power yang kerap jadi landasan pemikiran kebanyakan orang barat di era postmodern.

Dapat dilihat negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman memang kontributor besar WHO. Terutama Amerika Serikat. Ini belum ditambah dengan kontributor swasta terbesar WHO yang juga banyak warga AS seperti Bill Gates yang kini aktif di industri vaksin, Gavi Alliance (aliansi industri vaksin), dan Rotary International.

Kesemua daftar funder dapat dilihat pada dokumen WHO Voluntary Contributions by Fund and by Contributor, 2018, yang dirilis tanggal 9 Mei 2019. Meskipun negara-negara yang disebutkan di atas juga terkena dampak Covid-19, di masa pandemi ini sirkulasi ekonomi mereka sebagai negara produsen akan dapat lebih baik sebab tingginya permintaan pasar dunia terhadap APD, misalkan masker tadi. Kita dapat membandingkannya dengan Indonesia yang mesti mengimpor N95 menggunakan APBN. Hasilnya tentu akan terlihat pada neraca perdagangan tahunan.

Akhirnya melalui contoh di atas, pada Covid-19 ini terlihat jelas kita begitu bergantung pada negara lain di bidang kesehatan. Ini belum menghitung ketergantungan kita pada industri lainnya terkait wabah Covid-19 seperti industri kimia dan bahan baku tekstil. Lebih miris lagi rendahnya posisi kita di bidang teknologi informasi.

Kita berpasrah saja menjadi pasar menggiurkan untuk aplikasi telekonferensi seperti zoom dan google meet pada masa work from home. Tentu semua itu adalah ketergantungan yang merugikan (mafsadat) sebagai bangsa dan negara, dan pada ujungnya pada individu pribadi.

Saya kira, ekonomi syariah yang nasionalis akan berbicara soal keberpihakan. Agar menemukan solusi dalam meningkatkan kapasitas industri dalam negeri yang selama ini menyerap tenaga kerja. Juga solusi untuk menemukan keseimbangan baru dalam peta ekonomi global.

Penulis: Rokan Darsyah.

Penulis adalah Wakil Ketua Lakpesdam PWNU DKI Jakarta

admin
Ideas, stories, thoughts

Komentari

Subscribe to our newsletter

Subscribe info terbaru dari UNAS Press Newsletter langsung ke inbox email

Terkini

HI UNAS dan AIHII Gelar Foreign Policy Outlook 2024

Program Studi Hubungan Internasional Universitas Nasional bekerja sama dengan Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) menggelar “Foreign Policy Outlook...

Orasi Ilmiah Pengukuhan 10 Guru Besar Universitas Nasional: Mulai Dari Soal Perburuhan Hingga Pandanus Tectorius dari Jawa

  Universitas Nasional membuka tahun 2024 dengan mengukuhkan 10 Guru Besar melalui acara pengukuhan yang digelar selama dua hari berturut-turut....

Capaian Awal Tahun 2024: UNAS Raih Predikat Unggul, Kukuhkan 10 Guru Besar

Ada capaian istimewa di awal tahun 2024 yang berhasil diraih Universitas Nasional. Pertama, UNAS berhasil meraik predikat akreditasi institusi...

Featured

You might also likeRELATED
Recommended to you